Paska reformasi, Wayang Potehi semakin eksis pentas antarpanggung sebagai akulturasi persenyawaan Tionghoa dan Indonesia. Terbukti, dalam pangelaran teranyar di kawasan Kota Tua pekan lalu, atribut unik dan mencolok mata dari wayang ini mampu menyedot perhatian penikmat seni. |
Gelaran itu diprakarsai oleh komunitas pengiat wayang potehi. “Saya
memilih menekuni wayang potehi karena wayang ini termarginalkan” tegas
Hirwan Kuardhani (50), pegiat Wayang Potehi dari komunitas Senjoyo
Budoyo-Yogyakarta didukung oleh Yensen Project.
Kita ketahui bahwa di era 1970-1990an, keberlangsungan hidup Wayang
Potehi mengalami masa suram, tindakan refresif orde baru terlihat pada
sulitnya perizinan bahkan penolakan pertunjukan, para pelaku Wayang
Potehi dipaksa mati suri. Alasannya, karena wayang jenis ini identik
dengan masyarakat Tionghoa, atau wayang khas Cina. Akhirnya, sejak masa
kepemimpinan Abdurahman Wahid, wayang potehi mendapat kebebasan untuk
mementaskan secara lebih leluasa.
Seperti pada Kamis malam, 29 Mei 2014, perempuan yang akrab disapa
Dhani dan juga berprofesi sebagai dosen di ISI Yogyakarta ini
mementaskan pertunjukan wayang potehi berjuluk “Sang Angkara” pada
gelaran “Temu Kreasi Dalang Muda 2014” di lapangan Fatahillah-Kota Tua
Jakarta.
Panggung wayang potehi terlihat lain dibandingkan pagelaran wayang
kulit, golek dan wayang lainnya. Kesan meriah dan mencolok mata dengan
warna merah dan emas yang dinamis cukup menarik mata penonton. Di tengah
panggung terdapat ruang tempat tiga dalang (Doni, Bayu dan Haryanto)
beraksi memainkan wayang potehi. Ketiga dalang memasukan tangan ke dalam
kantong lalu dengan jemarinya memainkan gerakan tubuh wayang, sedangkan
wajah ke tiga dalang ditutup kain hitam agar tidak mengganggu visual
layar panggung.
Wayang Potehi masih selalu setia mengadopsi kisah-kisah yang diambil
dari negeri tirai bambu dengan kemasan Indonesia, salah satunya melalui
pertunjukan “Sang Angkara” yang diadopsi dari kisah siluman kelabang,
episode Sun Go Kong kera sakti yang disutradarai Hirwan Kuardhani.
Pertunjukan ini menurut Dhani memberikan esensi pesan bila alam sudah
membawa keharmonian sedemikian rupa, siluman kelabang yang sakti dan
tidak bisa dilawan oleh kera sakti akhirnya mati oleh siluman ayam
seperti takdir alam, oleh sebab itu kita harus percaya bisa segala
sesuatu akan selesai bila dikembalikan pada alam.
Seiring waktu dan perkembangan zaman, seni pertunjukan di Indonesia
termasuk wayang potehi selalu mengalami akulturasi dan penyesuaian
dengan budaya masyarakat. Seperti yang dilakukan Dhani, meski masih
memakai lakon Cina, tetapi penggunaan gamelan lebih modern dan
akulturasi bahasa dan gaya masyarakat Indonesia lebih kental dan
disinilah kesenian memiliki sisi fleksibilitasnya. Menurut Dhani, Wayang
Potehi adalah milik masyarakat Indonesia, masyarakat Tionghoa dan kita
bersama.
Sumber : akarpadinews.com