Seni Jaranan itu mulai muncul sejak abad ke 10
Hijriah. Tepatnya pada tahun 1041. atau bersamaan dengan kerajaan Kahuripan
dibagi menjadi 2 yaitu bagian timur Kerajaan Jenggala dengan ibukota Kahuripan
dan sebelah Barat Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan Ibukota Dhahapura.
Raja Airlangga memiliki seorang putri yang bernama
Dewi Sangga Langit. Dia adalah orang kediri yang sangat cantik. Pada waktu
banyak sekali yang melamar, maka dia mengadakan sayembara. Pelamar-pelamar Dewi
Songgo Langit semuanya sakti. Mereka sama-sama memiliki kekuatan yang tinggi.
Dewi Songgo Langit sebenarnya tidak mau menikah dan dia Ingin menjadi petapa
saja. Prabu Airlangga memaksa Dewi Songgo Langit Untuk menikah. Akhirnya dia
mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa yang bisa membuat kesenian
yang belum ada di Pulau Jawa dia mau menjadi suaminya.
Foto Jaranan Dan Bantengan Di Lantai 2 |
Ada beberapa orang yang ingin melamar Dewi Songgo
Langit. Diantaranya adalah Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo
Barong Dari Blitar, kalawraha seorang adipati dari pesisir kidul, dan 4
prajurit yang berasal dari Blitar. Para pelamar bersama-sama mengikuti
sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit. Mereka berangkat dari
tempatnya masing-masing ke Kediri untuk melamar Dewi Songgo Langit.
Dari beberapa pelamar itu mereka bertemu dijalan dan
bertengkar dahulu sebelum mengikuti sayembara di kediri. Dalam peperangan itu
dimenangkan oleh Klana Sewandono atau Pujangganom. Dalam peperangan itu
Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah. Pada saat kekalahan Singo Ludoyo itu
rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan Pujangganom. Singa Ludoyo meminta
jangan dibunuh. Pujangganom rupanya menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi
Pujangganom memiliki syarat yaitu Singo Barong harus mengiring temantenya
dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.
Iring-iringan temanten itu harus diiringi oleh
jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan diiringi oleh alat musik yang
berasal dari bambu dan besi. Pada zaman sekarang besi ini menjadi kenong. Dan
bambu itu menjadi terompet dan jaranan.
Dalam perjalanan mengiringi temantenya Dewi Songgo
Langit dengan Pujangganom itu, Singo Ludoyo beranggapan bahwa dirinya sudah
sampai ke Wengker, tetapi ternyata dia masih sampai di Gunung Liman. Dia
marah-marah pada waktu itu sehingga dia mengobrak-abrik Gunung Liman itu dan
sekarang tempat itu menjadi Simoroto. Akhirnya sebelum dia sampai ke tanah
Wengker dia kembali lagi ke Kediri. Dia keluar digua Selomangklung. Sekarang
nama tempat itu adalah selomangkleng.
Karena Dewi Sonmggo Langit sudah diboyong ke Wengker
oleh Puijangganom dan tidak mau menjadi raja di Kediri, maka kekuasaan
Kahuripan diberikan kepada kedua adiknya yang bernama Lembu Amiluhut dan Lembu
Amijaya. Setelah Sangga Langit diboyong oleh Pujangganom ke daerah Wengker
Bantar Angin, Dewi Sangga Langit mengubah nama tempat itu menjadi Ponorogo
Jaranan muncul di kediri itu hanya untuk menggambarkan boyongnya dewi Songgo
langit dari kediri menuju Wengker Bantar Angin. Pada saat boyongan ke Wengker,
Dewi Sangga Langit dan Klana Sewandana dikarak oleh Singo Barong. Pengarakan
itu dilakukan dengan menerobos dari dalam tanah sambil berjoget. Alat musik yang
dimainkan adalah berasal dari bambu dan besi. Pada zaman sekarang besi ini
menjadi kenong.
Untuk mengenang sayembara yang diadakan oleh Dewi
Songgo Langit dan Pernikahanya dengan Klana Sewandono atau Pujangga Anom inilah
masyarakat kediri membuat kesenian jaranan. Sedangkan di Ponorogo Muncul Reog.
Dua kesenian ini sebenarnya memiliki akar historis yang hampir sama. Seni
jaranan ini diturunkan secara turun temurun hingga sekarang ini.
Jaranan pada zaman dahulu adalah selalu bersifat
sakral. Maksudnya selalu berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya gaib. Selain
untuk tontonan dahulu jaranan juga digunakan untuk upacara-upacara resmi yang
berhubungan dengan roh-roh leluhur keraton. Pada zaman kerajaan dahulu jaranan
seringkali ditampilkan di keraton.
Dalam praktek sehari-harinya para seniman jaranan
adalah orang-orang abangan yang masih taat kepada leluhur. Mereka masih
menggunakan danyangan atau punden sebagai tenpat yang dikeramatkan. Mereka
masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap roh-roh nenek moyangnya. Mereka
juga masih melaksanakan praktik-praktik slametan seperti halnya dilakukan oleh
orang-orang dahulu.
Pada kenyataanaya seniman jaranan yang ada di kediri
adalah para pekerja kasar semua. Mereka sebagian besar adalah tukang becak dan
tukang kayu. Ada sebagian dari mereka yang bekerja sebagai sebagai penjual
makanan ringan disepanjang jalan Bandar yang membujur dari utara ke selatan.
0 komentar:
Posting Komentar